Thursday 23 March 2017

YA, FITNAH ITU LEBIH KEJAM DARI PEMBUNUHAN

Image result for FITNAH

Silakan dibaca dan dipahami.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dibalik cerita ini.

Belajar Tentang Apa Itu FITNAH
“Kyai, maafkanlah saya yang telah memfitnah pak kyai dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan kyai.
Kyai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kyai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Kyai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kyai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kyai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—
“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kyai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kyai?” Aku berusaha memperjelas maksud kyai Husain.
Kyai Husain tertawa, seperti kyai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya Kyai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Kyai Husain tersenyum.
“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud kyai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata kyai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
***
Keesokan harinya, aku menemui Kyai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Kyai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang.
Maafkan saya, kyai. Maafkan saya…”
Kyai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kyai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah…” kata Kyai Husain.
Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”
Aku terkejut mendengarkan permintaan kyai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kyai Husain.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kyai Husain.
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan.
Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
***
Hari berikutnya aku menemui Kyai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kyai Husain. “Ini, Kyai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kyai Husain.
Kyai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.
Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kyai?” Aku benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab kyai Husain.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu.
Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya.
Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
“Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim…
Astagfirulloh hal-adzhim…”
Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kyai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.
Kyai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim...”
Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kau sakiti. Ia lebih luas lagi.
Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan...”

kami kesulitan untuk mencari sumber real cerita ini

SUMBER WEB DARI AKUN FACEBOOK  Asep Hermawan

Tuesday 21 March 2017

TENANG, MAH, NAK, AYAH TIDAK MENANGIS


Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang
tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dansegunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.



Oleh Andri Pamulang (artikel ini viral dan
menginspirasi di facebook)
Subuh tadi saya melewati sebuah rumah 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya.Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti
oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang
praktek". "Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi
bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat. Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam,"besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah
kesukaannya itu. Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar,
"jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya".Kontan saja SMS itu membuat teman saya
bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang
bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah.
Bagaimana jika sebaliknya?
Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah
habis, bayaran sekolah anak yang
tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil
yang tersisa di sendok terakhir, bayar
tagihan listrik, hutang di warung tetangga
yang mulai sering mengganggu tidur, dan
segunung gundah lain yang kerap
membuatnya terlamun.
Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang
ingin membuat isterinya tersenyum,
meyakinkan anak-anaknya tenang dengan
satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah
bereskan" meski dadanya bergemuruh
kencang dan otaknya berputar mencari
jalan untuk janjinya membereskan semua
gundah yang ia genggam.
Maka sejarah pun berlangsung, banyak
para Ayah yang berakhir di tali gantungan
tak kuat menahan beban ekonomi yang
semakin menjerat cekat lehernya. Baginya,
tali gantungan tak bedanya dengan jeratan
hutang dan rengekan keluarga yang tak
pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama
menjerat, bedanya, tali gantungan
menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-
lahan.
Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan
tangannya berlumuran darah sambil
menggenggam sebilah pisau
mengorbankan hak orang lain demi
menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya
ia pun harus berakhir di dalam penjara.
Yang pasti, tak henti tangis bayi di
rumahnya, karena susu yang dijanjikan
sang Ayah tak pernah terbeli.
Tak jarang para Ayah yang terpaksa
menggadaikan keimanannya, menipu
rekan sekantor, mendustai atasan dengan
memanipulasi angka-angka, atau berbuat
curang di balik meja teman sekerja. Isteri
dan anak-anaknya tak pernah tahu dan
tak pernah bertanya dari mana uang yang
didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang
penting teredam sudah gundah hari itu.
Teramat banyak para isteri dan anak-anak
yang setia menunggu kepulangan Ayahnya,
hingga larut namun yang ditunggu tak juga
kembali. Sementara jauh disana, lelaki
yang isteri dan anak-anaknya setia
menunggu itu telah babak belur tak
berkutik, hancur meregang nyawa,
menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah
dihajar massa yang geram oleh aksi
pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi,
ada yang rela menanggung resiko ini demi
segenggam gundah yang mesti ia
tuntaskan.
Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu,
saya teramat salut dengan sebagian Ayah
lain yang tetap sabar menggenggam
gundahnya, membawanya kembali ke
rumah, menyertakannya dalam mimpi,
mengadukannya dalam setiap sujud
panjangnya di pertengahan malam, hingga
membawanya kembali bersama pagi.
Berharap ada rezeki yang Allah berikan
hari itu, agar tuntas satu persatu gundah
yang masih ia genggam.
Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah
takkan membiarkan hamba-Nya berada
dalam kekufuran akibat gundah-gundah
yang tak pernah usai.
Ayah ini meyakini bahwa Allah tidak akan
menguji seorang hamba kecuali sebatas
hamba tersebut mampu memikulnya, dan
Ia selalu berprasangka baik kepada Allah
dengan meyakini bahwa tiada cobaan
yang tidak berakhir dan Jalan keluar selalu
akan datang kepada hamba-hamba yang
hanya bersandar pada pertolongan dan
kasih sayangNYA semata.
Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan
semua gundahnya tanpa harus
menciptakan gundah baru bagi
keluarganya. Karena ia takkan
menuntaskan gundahnya dengan tali
gantungan, atau dengan tangan berlumur
darah, atau berakhir di balik jeruji
pengap, atau bahkan membiarkan
seseorang tak dikenal membawa kabar
buruk tentang dirinya yang hangus
dibakar massa setelah tertangkap basah
mencopet.
Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap
menggenggam gundah saya dengan
senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap
orang-orang yang tersenyum dan ringan
melangkah di balik semua keluh dan gundahnya.
Semoga.

 
dikutip dari web