Tuesday 21 March 2017

TENANG, MAH, NAK, AYAH TIDAK MENANGIS


Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang
tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dansegunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.



Oleh Andri Pamulang (artikel ini viral dan
menginspirasi di facebook)
Subuh tadi saya melewati sebuah rumah 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya.Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti
oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang
praktek". "Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi
bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat. Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam,"besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah
kesukaannya itu. Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar,
"jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya".Kontan saja SMS itu membuat teman saya
bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang
bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah.
Bagaimana jika sebaliknya?
Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah
habis, bayaran sekolah anak yang
tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil
yang tersisa di sendok terakhir, bayar
tagihan listrik, hutang di warung tetangga
yang mulai sering mengganggu tidur, dan
segunung gundah lain yang kerap
membuatnya terlamun.
Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang
ingin membuat isterinya tersenyum,
meyakinkan anak-anaknya tenang dengan
satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah
bereskan" meski dadanya bergemuruh
kencang dan otaknya berputar mencari
jalan untuk janjinya membereskan semua
gundah yang ia genggam.
Maka sejarah pun berlangsung, banyak
para Ayah yang berakhir di tali gantungan
tak kuat menahan beban ekonomi yang
semakin menjerat cekat lehernya. Baginya,
tali gantungan tak bedanya dengan jeratan
hutang dan rengekan keluarga yang tak
pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama
menjerat, bedanya, tali gantungan
menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-
lahan.
Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan
tangannya berlumuran darah sambil
menggenggam sebilah pisau
mengorbankan hak orang lain demi
menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya
ia pun harus berakhir di dalam penjara.
Yang pasti, tak henti tangis bayi di
rumahnya, karena susu yang dijanjikan
sang Ayah tak pernah terbeli.
Tak jarang para Ayah yang terpaksa
menggadaikan keimanannya, menipu
rekan sekantor, mendustai atasan dengan
memanipulasi angka-angka, atau berbuat
curang di balik meja teman sekerja. Isteri
dan anak-anaknya tak pernah tahu dan
tak pernah bertanya dari mana uang yang
didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang
penting teredam sudah gundah hari itu.
Teramat banyak para isteri dan anak-anak
yang setia menunggu kepulangan Ayahnya,
hingga larut namun yang ditunggu tak juga
kembali. Sementara jauh disana, lelaki
yang isteri dan anak-anaknya setia
menunggu itu telah babak belur tak
berkutik, hancur meregang nyawa,
menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah
dihajar massa yang geram oleh aksi
pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi,
ada yang rela menanggung resiko ini demi
segenggam gundah yang mesti ia
tuntaskan.
Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu,
saya teramat salut dengan sebagian Ayah
lain yang tetap sabar menggenggam
gundahnya, membawanya kembali ke
rumah, menyertakannya dalam mimpi,
mengadukannya dalam setiap sujud
panjangnya di pertengahan malam, hingga
membawanya kembali bersama pagi.
Berharap ada rezeki yang Allah berikan
hari itu, agar tuntas satu persatu gundah
yang masih ia genggam.
Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah
takkan membiarkan hamba-Nya berada
dalam kekufuran akibat gundah-gundah
yang tak pernah usai.
Ayah ini meyakini bahwa Allah tidak akan
menguji seorang hamba kecuali sebatas
hamba tersebut mampu memikulnya, dan
Ia selalu berprasangka baik kepada Allah
dengan meyakini bahwa tiada cobaan
yang tidak berakhir dan Jalan keluar selalu
akan datang kepada hamba-hamba yang
hanya bersandar pada pertolongan dan
kasih sayangNYA semata.
Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan
semua gundahnya tanpa harus
menciptakan gundah baru bagi
keluarganya. Karena ia takkan
menuntaskan gundahnya dengan tali
gantungan, atau dengan tangan berlumur
darah, atau berakhir di balik jeruji
pengap, atau bahkan membiarkan
seseorang tak dikenal membawa kabar
buruk tentang dirinya yang hangus
dibakar massa setelah tertangkap basah
mencopet.
Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap
menggenggam gundah saya dengan
senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap
orang-orang yang tersenyum dan ringan
melangkah di balik semua keluh dan gundahnya.
Semoga.

 
dikutip dari web 

0 comments:

Post a Comment

Berbagi, demi kemajuan bersama