Wednesday, 31 January 2018

Kekeliruan Fatal yang umum terjadi dalam menyikapi Gerhana : Tidak adanya rasa Takut dan Khawatir

Saudaraku, takutlah dengan fenomena alam (Gerhana) ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat.

Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu.

Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. *Nabi lantas berdiri takut karena khawatir* akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi *Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya.*

*Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.”*

Petuah Nabi SAW benar-benar tertanam dalam diri para sahabat. Adanya fenomena gerhana menjadikan mereka ingat kepada Allah, bertafakkur dan membayangkan bagaimana seandainya gerhana itu menjadi tanda terjadinya kiamat yang mereka alami. *Mereka khawatir jika gerhana itu menjadi sebuah peringatan dari Allah akan turunnya bala, sehingga mereka pun kembali kepada Allah dengan berdoa agar segala kemungkinan buruk tidak menimpa mereka.*

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa *Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat.*

Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:

Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.

Syaikh Abdurrahman Al-Barrak menambahkan, “Gerhana bulan atau matahari merupakan tanda-tanda alam yang *Allah perlihatkan kepada manusia. Agar dengan itu, mereka takut dan ingat akan fenomena yang terjadi pada hari kiamat.* Dimana Allah ta’ala menggambarkan dalam Al-Qur’an, ‘Yaitu apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, maka apabila mata terbelalak keluar (ketakutan, dan bulan pun telah hilang cahayanya, lalu matahari dan bulan dikumpulkan’.”

*Semua itu adalah bentuk peringatan Allah agar manusia takut.*Dan Nabi SAW adalah sosok yang paling takut kepada Allah ta’ala. Ketika terjadi gerhana, rasa takut itu langsung muncul karena terbayang dengan kegoncangan pada hari kiamat.

*Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya.*

*Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah.*

Sementara itu, kita sering melupakan hal itu. Sehingga ketika muncul gerhana, tidak ada yang terbayang dalam benak kita kecuali hanya fenomena alam semata. Bahkan kita merasa senang ketika bisa menyaksikannya secara langsung, tanpa ada rasa khawatir sekalipun. Sebagian masyarakat kita terlihat lebih sibuk membawa kamera dan berfoto ria pada momen-momen tersebut.

Semuanya kita pandang lewat kacamata kajian ilmiyah tanpa mau tahu peristiwa yang bakal terjadi pada hari kiamat. Inilah salah satu bentuk tanda hati yang keras dan jarang memikirkan akhirat. Rasa takut kepada peritiwa hari kiamat jarang terbayang dalam jiwa, dan tidak mengetahui tujuan ditetapkannya syariat serta bagaimana kekhawatiran Nabi SAW saat mengalami peristiwa tersebut.

Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat? Na’udzu billahi min dzalik.

Rasulullah SAW dan para sahabatnya menghadapi kekhawatiran itu dengan mengerjakan shalat. Dengan harapan, jika hal itu berujung kepada terjadinya hari kiamat, maka mereka mengakhiri hidupnya dalam ketaatan kepada Allah. Namun apabila tidak, maka shalat itu tidak membuat diri mereka rugi, bahkan mendapatkan pahala yang besar dan menjadikan mereka tergolong bersama dengan orang-orang yang takut kepada Allah.

Semoga kita mampu mengambil pelajaran

Wallohu a'lam

Celakalah Rentenir!

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Kami saat ini lebih sering hidup di desa dan berinteraksi dengan warga yang berada di bawah garis kemiskinan. Ketika kami mempublish info penyaluran zakat di Gunung Kidul khususnya di desa kami dan sekitar desa kami, kami baru mengetahui kenapa rakyat di sini bisa terus melarat. Yang pertama memang mereka belum sadar akan Islam, masih memiliki keyakinan-keyakinan syirik, banyak yang tidak memperhatikan shalat, itulah alasan kenapa Allah terus timpakan kesengsaraan. Namun ada satu hal yang merupakan faktor external yang membuat rakyat di sini terus miskin atau melarat karena terlilit utang rentenir.
Saat ini kebutuhan mereka begitu banyak dan semakin terdesak seperti kebutuhan anak akan sekolah. Dahulu hanya satu dua orang yang bisa menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Namun saat ini semakin banyak anak yang ingin merasakannya. Sehingga orang tua pun mesti menyediakan kebutuhan tersebut. Di antara caranya adalah meminjam uang ke bank atau perkumpulan RT yang memiliki kas yang banyak. Bank sudah jelas tidak lepas dari riba, begitu pula sama halnya dengan perkumpulan RT yang ada, juga sama menerapkan sistem riba. Jika dalam pengembalian mengalami keterlambatan, maka berlakulah riba. Padahal para ulama sudah katakan, “Setiap utang piutang yang ada keuntungan adalah riba.” Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang mensyaratkan kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.” Ibnu Qudamah mengatakan, “Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).” (Lihat Al Mughni, 9/104).
Terserah keuntungan itu mau dinamakan bunga, uang jasa, bagi hasil atau lainnya. Jika awalnya untuk maksud menolong dengan memberikan pinjaman, namun ingin cari untung, maka itulah riba. Karena maksud menolong, maka tidak boleh menyengsarakan apalagi yang dibuat susah adalah orang miskin. Keuntungan akan berpihak terus pada rentenir atau bank, namun selalu merugikan wong miskin. Jadi tidak benar jika bank atau rentenir malah menyejahterakan rakyat. Bahkan sebaliknya perilaku rentenir itulah yang mengakibatkan kemiskinan di mana-mana.
Berikut adalah beberapa dalil yang menunjukkan haramnya memakan hasil riba, semoga para rentenir atau pekerja bank semakin sadar.
1. Memakan riba lebih buruk dosanya dari perbuatan zina.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺩِﺭْﻫَﻢُ ﺭِﺑًﺎ ﻳَﺄْﻛُﻠُﻪُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﺃَﺷَﺪُّ ﻣِﻦْ ﺳِﺘَّﺔِ ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴْﻦَ ﺯَﻧْﻴَﺔً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Dosa memakan riba seperti dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺍﻟﺮِﺑَﺎ ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﻭَﺳَﺒْﻌُﻮْﻥَ ﺑَﺎﺑًﺎ ﺃﻳْﺴَﺮُﻫَﺎ ﻣِﺜْﻞُ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻜِﺢَ ﺍﻟﺮُّﺟُﻞُ ﺃُﻣَّﻪُ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺭْﺑَﻰ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻋِﺮْﺽُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)
3. Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﻇَﻬَﺮَ ﺍﻟﺰِّﻧﺎَ ﻭَﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻓِﻲ ﻗَﺮْﻳَﺔٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺣَﻠُّﻮْﺍ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya)
Kami sangat berterima kasih sekali karena penyaluran zakat dari para pengunjung
rumaysho.com ke desa kami sehingga beberapa utang warga bisa dilunasi. Untuk lunasi 100 ribu rupiah saja, bertahun-tahun baru bisa lunas, apalagi jika utangnya jutaan. Semoga Allah membalas amalan para muzakki lewat website ini dan moga rizkinya tambah barokah. Adapun laporan penerimaan zakat maal, belum bisa kami sampaikan di website ini. Moga bisa segera mungkin karena masih ada yang menyusul sampai hari ini permintaan penyaluran zakat. Kami pun masih bersedia menyalurkan zakat dari pengunjung sekalian. Kami beri waktu sampai tanggal 12 September ini (hari Senin). Info zakat selengkapnya, silakan lihat di sini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Baca tentang riba pada utang piutang dan bahaya memakan riba.

Sumber : rumaysho.com
Rerey Niqabis China ( Rerey )

Membeli Kendaraan (Mobil) Lewat Leasing

Pertanyaan dari Bpk. Syahid di Depok

Dijawab oleh :
Ustadz DR. Erwandi Tarmizi, MA
Source : ETA [Erwandi Tarmizi & Associates]
Pertanyaan :
Ustadz, saya pedagang mobil, seringkali mobil dibeli konsumen dengan cara kredit melalui leasing, dalam transaksi mobil dengan kredit melalui leasing, selain saya mendapat keuntungan dari unit mobilnya, saya sebagai pedagang akan mendapatkan refund bunga keuntungan tambahan dari leasing dengan persentase tertentu.
Bagaimana hukum transaksi dengan keuntungan seperti ini, Ustadz? dan bagaimana saya menyikapinya?
Jawaban :
Yang Anda dapatkan adalah hasil dari riba, maka tidak halal Anda menerimanya.
Bagaimana Anda menyikapinya?
Sikapi pertama, jangan anjurkan dia untuk ke leasing.
Kedua, kalau Anda ingin dia memenuhi syar’i, sampaikan kepada leasing,
“Kalau kalian ingin mendapatkan konsumen, beli dulu barang dari saya, nanti saya akan alihkan konsumen kepada Anda, tapi sebelum Anda membuat akad dengan dia, beli dulu barang dari saya”.
Walaupun akad nya hanya sekedar lisan, tidak harus tertulis, (tadi kita katakan bahas pada pembahasan di awal), bahwa akad boleh dengan lisan, boleh juga dengan tulisan. Cukup dengan (mengatakan, -pent) “saya beli”, (maka) berpindah resikonya kepada leasing.
Setelah itu, pihak leasing baru menjual kepada si konsumen ini.
Bila umpamanya nasabah (seseorang yang datang membeli mobil di showroom Anda) mengatakan, “Saya gak punya uang tunai, Pak”.
Kalau gak punya uang tunai sebentar, JANGAN langsung Anda jual kepada dia.
Kalau Anda mengatakan, “Kalau gak punya uang tunai, ya udah saya jual kepada Anda, nanti ambil pembiayaan dari leasing”.
Berarti ini (untuk Akad ini, -Ust) meminjam uang kepada leasing. Kemudian dia bayar berlebih kepada leasing dalam bentuk pertambahan bunga, kemudian belum lagi denda keterlambatan.
Maka yang pertama Anda katakan, kalau dia datang kepada Anda,
(Pembeli, -pent) : “Pak, saya ingin mobil ini tapi saya gak punya uang tunai.”
(Penjual, -pent) : “Anda ingin ya? tapi saya gak jual kepada Anda.”
(Pembeli, -pent) : “Lalu bagaimana saya ingin juga, Pak?.”
(Penjual, -pent) : “Nanti, saya jual dulu kepada leasing A silahkan datang kepada dia (beli dari dia, -Ust).”
Maka Anda hubungi leasing yang tadi yang menawarkan jasa kepada Anda.
(Penjual, -pent) : “Pak Leasing, mobil ini ada orang ingin beli, tapi saya belum jual (masih milik saya), kalau Anda ingin jual kepada dia dengan kredit, saya akan jual dulu kepada Anda.”
(Leasing, -pent) : “Oh ya udah saya beli, specs nya mana? ya udah, dan langsung aja dia beli ambil dari Anda pak.”
(Penjual, -pent) : “Gak bisa, Anda datang dulu (lalu, -pent) terima barangnya, suruh pegawai Anda terima barangnya, atau saya mengantarkan ke tempat Anda.”
Lalu dibawalah yang nasabah tadi ketempat leasing, disana silahkan mereka buat akad.
Kemudian (leasing, pent) transfer uang dengan Anda (penjualan), dengan cara tunai.
(Maka, -pent) ini menjadi halal jadinya.
Tapi bila tidak, tidak ada akad jual beli sebelumnya.
Ini (artinya, -pent) Anda membantu orang berbuat riba, dan membantu membesarkan riba.
Wa billahi taufiq…

Ditranskip oleh : Team Transkip BiAS & ET

Sumber: bimbinganislam.com

TAQSITH (KREDIT) MOTOR DI DEALER

Soal :
Bagaimana hukumnya beli sepeda motor di dealer dengan cara kredit ? terima kasih atas jawabannya.
Jawab :
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita akan menyampaikan definisi jual-beli secara kredit. Jual beli secara kredit atau yang dikenal dengan sebutan bai’ut taqsîth yaitu jual-beli barang dengan sistem pembayaran dicicil dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan dua belah pihak.[1]
Mengenai hukum jual-beli dengan cara seperti ini, para Ulama berbeda pendapat, ada yang menghukuminya haram, ada yang mengatakan sah dan ada pula kelompok ketiga yang pertengahan antara boleh dan tidak tetapi lebih cenderung memakruhkan. [2]
Akan tetapi pendapat yang rajih adalah bolehnya sistem jual beli dengan cara kredit. Ini merupakan pendapat jumhur Ulama, diantaranya fuqaha’ mazdhab, Imam asy-Syirazi dalam al-Majmu’ Syarh Muhazzab (13/16), Imam asy-Syâthibi rahimahullah dalam al-Muwâfaqât (4/41), Imam az-Zarqâni, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah , Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah , dan lainnya. Mereka berhujjah dengan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla dalam al-Baqarah ayat ke-275 :
ﻭَﺃَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ
“Dan Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menjelaskan bahwa hukum asal dari jual beli adalah halal.
Dan juga firman-Nya :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻋَﻦْ ﺗَﺮَﺍﺽٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” [An-Nisa’/4:29]
Sedangkan hadits yang mendasari pendapat ini yaitu hadits yang menceritakan bahwa Rasûlullâh memerintahkan kepada Abdullâh bin Amr bin Ash Radhiyallahu anhu agar mempersiapkan pasukan lalu beliau Radhiyallahu anhu segera membeli seekor onta dengan harga dua ekor onta sampai waktu yang ditentukan[3] . Hadits ini menjelaskan bolehnya mengambil tambahan harga dengan bertambahnya waktu pembayaran.
Untuk melengkapi penjelasan para Ulama tentang jual beli system kredit ini, kami membawakan beberapa fatwa tentang hal ini. Diantaranya :

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Beliau mengatakan : Jual beli berjangka dengan waktu yang jelas itu boleh, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﺪَﺍﻳَﻨْﺘُﻢْ ﺑِﺪَﻳْﻦٍ ﺇِﻟَﻰٰ ﺃَﺟَﻞٍ ﻣُﺴَﻤًّﻰ ﻓَﺎﻛْﺘُﺒُﻮﻩُ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah secara tidak tunai (hutang piutang) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…” [Al-Baqarah/2:282]
Dan penambahan harga sebagai konpensasi dari pemberian waktu itu dibolehkan. Juga sebagaimana yang disebutkan dalam hadits bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Amr bin Ash agar mempersiapkan pasukan maka beliau Radhiyallahu anhu membeli satu onta dengan harga dua onta sampai waktu yang ditentukan.
Dan seyogyanya, kita mengetahui dan memperhatikan kaidah-kaidah syariat dalam mu’amalah model ini agar tidak terjerumus kedalam muamalah yang diharamkan. Karena terkadang seseorang menjual sesuatu yang tidak dia miliki. (Artinya seteleh terjadi akad jual beli dengan pihak tertentu) dia baru mencarikan barang (yang sudah diakadkan tadi) dan selanjut baru diserahkan ke (pihak tertentu yang menjadi) pembeli tadi. Atau pun seandainya dia sudah membeli barang tersebut (namun) kemudian dia menjual barang yang baru dibeli tadi kepada orang lain dilokasi akad pertama sebelum ada serah terima atau sebelum barang berada dalam penguasaannya. Dua cara ini diharamkan berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salalm kepada Hakîm bin Hizam Radhiyallahu anhu :
ﻻَ ﺗَﺒِﻊْ ﻣَﺎﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻙَ
“Janganlah engkau menjual barang yang tidak engkau miliki”. [4]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ﻻَ ﻳَﺤِﻞُّ ﺳَﻠَﻒٌ ﻭَﺑَﻴْﻊُ ﻣَﺎﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻙَ
Tidak halal jual beli salaf (system pesan) dan menjual sesuatu yang bukan miliknya [5]
Dan juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ﻣَﻦِ ﺍﺷْﺘَﺮَﻯ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻼَ ﻳَﺒِﻌْﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻮْﻓِﻴَﻪُ
Barangsiapa yang membeli makanan maka janganlah dia menjualnya sampai dia benar-benar menguasainya. [6]
Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Kami membeli makanan tanpa takaran atau timbangan lalu Rasûlullâh mengutus seseorang yang melarang kami agar kami tidak menjual kecuali setelah kami bawa ke rumah kami. [7]
Dan juga dalam sebuah riwayat shahih diceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang dagangan dilokasi dia membeli, sampai para pedagang membawanya ke rumahnya [8]
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna maka akan tampak jelas bagi para pencari kebenaran bahwa seorang Muslim tidak boleh menjual barang yang tidak dia miliki (atau belum dimiliki), seperti mengadakan barang setelah akan berlangsung. Namun (seharusnya) penjualan itu dilakukan setelah dia membeli barang tersebut dan benar-benar menguasainya. (Berdasarkan hadits-hadits di atas juga) maka terlihat jelas bahwa praktik yang dilakukan oleh sebagian orang yang menjual barang dagangan di lokasi dia membeli, sebelum memindahkannya ke milik pembeli adalah praktik terlarang karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk sikap peremehan terhadap aturan dalam mu’amalah (berintraksi) dan tidak mau mengikat diri dengan kaidah-kaidah syari’at yang suci ini. Ini tentu akan menimbulkan kerusakan dan akibat buruk yang tidak terhitung. [9]

FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Beliau hafizhahullah pernah ditanya tentang hukum jual beli mobil dengan cara kredit ?
Beliau hafizhahullah menjawab :
Jual beli dengan cara tersebut tidak apa-apa selama mobil tersebut sudah menjadi hak miliknya sebelum akad jual beli itu berlangsung, kamudian dia menjual kepada orang lain dengan cara tempo atau kredit dengan waktu yang telah ditentukan. Yang terlarang adalah praktek yang dilakukan oleh sebagian muassasah (perusahaan) atau individu yang melangsungkan akad jual beli dengan pihak lain untuk menjual mobil. Mereka menyepakati harga dan tempo pembayaran (padahal mereka tidak memiliki mobil tersebut). Kemudian setelah itu mereka pergi ke show room mobil untuk membeli mobil kemudian baru diserahkan kepada pembeli. Praktek seperti ini bathil, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ﻻَ ﺗَﺒِﻊْ ﻣَﺎﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻙَ
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki”.
Dalam praktek seperti ini tidak bisa diterapkan hukum jual beli salam (jual beli sistem pesanan), karena dalam hal ini pembeli tidak menyerahkan uang di lokasi transaksi. [10]
Catatan : Adapun praktek jual beli kredit yang ada di negara kita, maka jika jelas ada unsur riba-nya dan jahalahnya (ketidakjelasan hak milik barang yang akan dikreditkan) demikian pula madharat (bahaya dan tindak kedzaliman) yang akan didapatkan jika tidak bisa membayar cicilan pada waktunya, maka berlepas diri dan tidak melakukan kredit lebih selamat. Hendaknya beli barang secara tunai jika ada uang dan tidak memaksakan diri membeli jika belum ada uang.
Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fatawa al lajnatid Daimah, no 16402,
[2]. Lihat Shahîh Fiqh Sunnah, 4/343
[3]. Hadits Hasan riwayat Abu Daud, no. 3357; Imam Ahmad, 2/171 dan 216; ad-Daru Quthni, 3/69 dan 70. al-Haafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam al-Fath (4/489) mengatakan, “sanad hadits ini kuat dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth hafizhahullah menghukumi hadits ini dengan hasan (Lihat, Shahih Fiqhis Sunnah, 4/349)
[4]. HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Makkiyin; Musnad Hakim bin Hizam, no. 14887; Tirmidzi dalam al-Buyû’, Bâb Mâ Jâ’a Fi Karahiyati Bai’i Ma Laisa ‘Indak, no. 1232; Ibnu Majah, no. 2187
[5]. HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Muktsirin minas Shahabah Musnad Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash, no. 6633; Tirmidzi dalam kitab al-Buyû’, Bâb Mâ Jâ’a Fi Karahiyati Bai’i Ma Laisa ‘Indak, no. 4611
[6]. HR Bukhari, al-Buyu, Bab al-Kiil ‘alal Ba’I’ wal Mu’thi, no. 2126 dan Muslim dalam al-Buyu’, Bâb Buthlân Ba’il Mabi’ Qabla Qabdh, no. 1526
[7]. HR. Muslim dalam al-Buyu’, Bab Buthlan Ba’il Mabi’ Qabla Qabdh, no. 1526
[8]. HR Abu Daud dalam al-Buyu’ bab Fi Bai’t Tha’am Qabla an Yastaufiya, no. 2499
[9]. Lihat Majmu’ fatâwa, Syaikh Bin Baz , 19/11-15
[10]. Lihat al-Muntaqa min Fatâwâ, Syaikh Shâleh Fauzan, 3/198
Sumber: almanhaj.or.id

Berutanglah dengan Jalan yang Benar

Jika berutang dibolehkan saat mudah untuk melunasinya, bukan berarti kita asal-asalan saja dalam berutang dan di antara bentuknya adalah mengambil kredit. Karena jika di dalam utang dipersyaratkan mesti dilebihkan saat pengembelian, maka itu adalah riba dan hukumnya haram.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
ﻭَﻛُﻞُّ ﻗَﺮْﺽٍ ﺷَﺮَﻁَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺰِﻳﺪَﻩُ ، ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ، ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺧِﻠَﺎﻑٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.
Nyata dalam Kredit KPR
Kenyataan yang terjadi dalam kredit KPR adalah pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah dan ingin dikembalikan lebih. Jadi realitanya, bukanlah transaksi jual beli rumah karena pihak bank sama sekali belum memiliki rumah tersebut. Yang terjadi dalam transaksi KPR adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan dan ini nyata-nyata riba. Itu sudah jelas. Kita sepakat bahwa hukum riba adalah haram.
Penyetor Riba Terkena Laknat
Bukan hanya pemakan riba (rentenir) saja yang terkena celaan. Penyetor riba yaitu nasabah yang meminjam pun tak lepas dari celaan. Ada hadits dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ﻟَﻌَﻦَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺁﻛِﻞَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻭَﻣُﻮﻛِﻠَﻪُ ﻭَﻛَﺎﺗِﺒَﻪُ ﻭَﺷَﺎﻫِﺪَﻳْﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻫُﻢْ ﺳَﻮَﺍﺀٌ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Mengapa sampai penyetor riba pun terkena laknat? Karena mereka telah menolong dalam kebatilan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).
Sehingga jika demikian sudah sepantasnya penyetor riba bertaubat dan bertekad kuat untuk segera melunasi utangnya.
Sudah Seharusnya Menghindari Riba
Jika telah jelas bahwa riba itu haram dan kita dilarang turut serta dalam transaksi riba termasuk pula menjadi peminjam, maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim mencari jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan primer kita termasuk dalam hal papan. Memiliki rumah dengan kredit KPR bukanlah darurat. Karena kita masih ada banyak cara halal yang bisa ditempuh dengan tinggal di rumah beratap melalui rumah kontrakan, sembari belajar untuk “nyicil” sehingga bisa tinggal di rumah sendiri. Atau pintar-pintarlah menghemat pengeluaran sehingga dapat membangun rumah perlahan-lahan dari mulai membeli tanah sampai mendirikan bangunan yang layak huni. Ingatlah sabda Rasul,
ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦْ ﺗَﺪَﻉَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﺇِﻻَّ ﺑَﺪَّﻟَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚَ ﻣِﻨْﻪُ
“Sesunggunya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti bagimu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Siapa saja yang menempuh jalan yang halal, pasti Allah akan selalu beri yang terbaik. Yang mau bersabar dengan menempuh cara yang halal, tentu Allah akan mudahkan. Yo sabar … Yakin dan terus yakinlah!
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Hambali, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Sumber : rumaysho.com

Tuesday, 30 January 2018

KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM AL QURAN

1. QS. 19 : 12 - 11 >> Saat Belum Punya Keturunan
2. QS. 3 : 38 - 39 >> Ikhtiar
3. QS. 7 : 189 >> Mulai Mengandung
4. QS. 2 : 233 >> Anak mulai di lahirkan
5. QS. 31 : 13 - 19 >> Anak Usia 2 tahun Ke atas
6. QS. 9 : 122 >> anak mulai sekolah supaya cepat Ingatannya
7. QS. 58 : 11 >> Supaya Prestasi nya Meningkat
8. QS. 49 : 13 >> Supaya tidak terjebak dalam pergaulan Bebas
9. QS. 4 : 4 >> Kalau Anak ada yang suka, bagaimana cara mengatasinya
10. QS. 30 : 21 >> Kalau Terjadi Pernikahan
11. QS. 4 : 34 >> Pembagian Tugas Suami Istri
12. QS. 2 : 168 >> Mulai Menunaikan Tugas
13. QS. 2 : 172 >> Kalau ingin sedikit lebih cepat Menjalakan Tugas
14. QS. 7 : 196 >> kalau Belum Berangkat Rizki nya sudah ada
15. QS. 17 : 23 - 24 >> Kalau anak mulai Rewel bagaimana cara mengatasinya
16. QS. 2 : 214 >> TIngkat masalah dan Cara Mengatasinya
17. QS. 3 : 142 >> SOlusi Mengatasi masalahnya
18. QS. 2 : 155 - 157 >> Cara Bersabarnya jika ada masalah
19. QS. 14 : 7 >> Cara Mensyukuri Nikmatnya
20. QS. 46 : 15 >> Cara memberikan Bakti Jika Ada Orang Tuanya
21. QS. 3 : 35 - 37 >> Contoh : Orang Yang Pernah Mempraktekannya Dan Berhasil
22. QS. 52 : 21 >> Tawaran ke surga satu Keluarga bersama anak keturunannya
23. QS. 51 : 15 - 23 >> Cara mewujudkannya
24. QS. 3 : 133 - 134 >> Surga Yang Lainnya
25. QS. 3 : 31 >> Ikuti Surga Yang Paling Puncak
26. QS. 59 : 7 >> Prakteknya mendapatkan Surganya
27. QS. 33 : 21 >> Pilihan Surganya
Ust. Adi Hidayat

Tanya kabar hatimu, jika kau masih tetap tak bisa menangis

Bismillahi Rahmaani Rahiim.....

Smoga hari2 kita penuh Barokah dan RidloNya..... Aamiin.....

Kemarin sore seorang teman menunjukkan sebuah foto yang ada di WAG RT-Nya, wilayah Mungkid Magelang. Mayat dua orang sepuh yang sudah membengkak, menghitam dan mulai berair. Saya hanya melihat sekilas karena tidak punya cukup nyali memandangnya lekat.

Jenasah kakek nenek itu  ditemukan beberapa hari setelah kematiannya oleh menantu dan tetangga. Tak ada yang tahu persis kapan mereka berdua wafat. Kata polisi kemungkinan sudah seminggu berlalu. Mereka meninggal tanpa kata, tanpa pamit dan yang pasti tanpa didampingi oleh anak, menantu dan cucu-cucunya.

Bukan karena mereka tak punya, namun tak ada satu pun anak yang bisa menemani dan merawat  mereka di hari-hari tuanya. Anak-anak mereka tinggal di luar kota.  Saya ikut sesak menahan air mata…
Lelaki  sepuh itu  akhirnya  meninggal dalam keadaan duduk  bersandar pada  kursi kayu di ruang tamunya.

Lelaki itu sehar-harinya adalah suami yang merawat istrinya yang stroke dan sudah tidak bisa beraktivitas apapun kecuali berbaring di tempat tidur. Polisi memperkirakan kematian lelaki sepuh ini terjadi lebih dulu. Istrinya menyusul wafat kemudian, banyak orang mereka-reka : sang istri meninggal karena selama berhari-hari tak makan minum atau melakukan aktivitas lainnya, karena sang suami yang selama ini menjadi satu-satunya 'perawat' terlebih dahulu meninggal dunia.

Bisakah anda bayangkan keadaan mereka berdua ? saat sang istri memanggil suaminya berkali-kali dalam resah namun tak ada jawaban apapun. Resah bukan saja karena ia sendiri merasa lapar, sakit dan tak berdaya. Namun mengkhawatirkan keadaan belahan jiwa namun tak bisa berbuat apa-apa karena badan tak lagi bisa digerakkan bersebab stroke menahun.

Sang suami juga tak bisa mengabarkan siapapun untuk menggantikannya merawat istri tercinta. Kematian datang tanpa mengucapkan salam pemberitahuan. Begitu tiba-tiba dan sangat nyata.

Mereka berdua meninggal di dalam rumah mereka sendiri. Rumah yang menjadi saksi saat pernikahan mereka bermula, saat mereka melahirkan anak demi anak. Membesarkan anak-anak mereka dari bayi merah, hingga akhirnya bisa merangkak perlahan, berjalan, berlari … dan akhirnya pergi sendiri-sendiri menapaki jalan takdirnya.

Menjadi orang tua memang adalah jalan panjang untuk melepaskan seorang anak agar mampu menjalani kehidupan mereka sendiri … karena itulah mengapa kisah pengasuhan anak menjadi rumit. Karena pengasuhan karena  telah melibatkan berjuta ragam emosi dan kenangan. Anak-anak lahir dari Rahim ibunya, membawa DNA bapaknya, besar dengan keringat dan airmata orang tuanya : namun bukan milik orang tuanya.

Orang tua harus ridho melepaskan anaknya menjalani peran kehidupannya sendiri, suatu waktu. Bahkan saat sang anak memutuskan untuk pergi mengembara menggapai mimpi-mimpi mereka
Dan bagi orang tua, ternyata berpisah dengan anak itu bukan urusan mudah.

Meski teknologi membuat kita bisa menatap wajah keriput mereka di layar HP, ternyata taka da yang bisa mengobati rindu sebaik dekapan hangat dan ketulusan cinta. Sebanyak apapun uang tak akan bisa membeli perhatian, senyuman, dukungan dan pelayanan tulus.

Saya menuliskan ini bukan hendak menyalahkan si anak atau keluarganya, saya pun tak tahu persis apa kesulitan mereka. Saya hanya ingin menuliskan catatan untuk diri saya sendiri. Karena saya dan istri pun juga tinggal jauh dari orang tua.

Dua momen bude dan pakde saya meninggal pun saya tak bisa takziah langsung, dada saya sesak setiap kali mengingatnya. Sudah tak mampu memuliakan mereka saat hidup, ternyata saya pun tak bisa memuliakan jenasahnya sebelum dikubur selamanya .   semoga Allah memberikan kami kekuatan dan kesempatan menyempurnakan bakti pada orang tua dan mertua.

Mereka adalah pintu surga yang terbuka. Berbuat baik pada mereka bahkan lebih didahulukan daripada jihad. Menafkahi mereka adalah keutaamaan yang besar. Bersabar atas mereka adalah pahala yang besar dihadapan ALLAH.

Waktu berlalu, usia mereka bertambah, badan mereka makin lemah, kematian semakin mendekat. BUkan tentang kematian mereka, namun juga tentang jatah kematian diri kita. Adakah yang bisa menjamin bahwa kita bisa setua mereka dan punya waktu untuk melanjutkan mimpi yang tak ada habisnya ?

PULANGLAH
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata “Saya berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad, aku mengharapkan pahala dari Allah.” Beliau bertanya, “Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya, bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah bertanya lagi, “Maka apakah kamu masih akan mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda, “Pulanglah kepada kedua orang tuamu lalu berbuat baiklah dalam mempergauli mereka.” (HR. Muslim)

Pulanglah, ada surga yang bisa kita raih dalam bakti padanya. Pulanglah, ada berkah dan kebaikan yang besar yang akan kita dapatkan untuk memperbaiki kehidupan kita sendiri. Pulanglah, kesempatan terbatas dan tak bisa diulang. Sempatkanlah pulang, supaya kita bisa memohon maaf atas bakti yang tak sempurna, atas semua kedurhakaan dan belum mampunya kita membahagiakan mereka.
Pulanglah, karena sampai kita menjadi orang tua bagi anak-anak kita pun masih saja merepotkan mereka.  Pulanglah, untuk mengucapkan terimakasih yang tak pernah cukup …

Jika mereka sakit hari ini, sungguh sakit mereka pun bisa jadi karena kita anak-anaknya. Masa muda dan kekuatan mereka berkurang untuk membesarkan kita anak-anaknya.

“Rindu itu berat, hidup dalam sepi tanpa anak cucu di akhir masa tua itu jauh lebih berat”

Sungguh tak ada orang tua yang ingin merepotkan anak-anaknya. Tak ada yang ingin sakit di masa lemahnya. taka da yang ingin berhitung budi dengan anak-anaknya. Mereka ikhlas.

Bukan orang tua yang sebenarnya membutuhkan anak-anaknya. Tapi justru anak-anaknya lah yang sangat membutuhkan orang tuanya. Karena sadar bahwa amal yang tak seberapa ini, dosa yang banyak ini hanya bisa lebur dengan amalan istimewa di mata ALLAH. Salah satunya adalah berbakti pada orang tua.

“Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid-), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152)]

“Setiap dosa, Allah akan menunda (hukumannya) sesuai dengan kehendakNya pada hari Kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya orangnya akan dipercepat (hukumannya sebelum hari Kiamat).” [HR Bukhari]

Memang tak ada orang tua yang sempurna namun yang pasti bahwa setiap anak berhutang pada orang tuanya. Bukan tentang nominal angka-angka yang mereka habiskan untuk membesarkan dan mendidik kita, namun tentang cinta, ketulusan, perhatian, doa dan pegorbanan yang tak berbilang.

Maka, ketika seorang anak yang  menggendong sang ibu bertawaf bertanya pada Ibnu Umar “apakah aku sudah membalas baktiku pada ibuku?”
“belum, bahkan engkau belum membalas satu tarikan nafas dan rasa sakitnya saat ia melahirkanmu”

Rabbifghfirli waliwali dayya warham humaa kamaa rabbayani shoghiroo…

Tata Cara Shalat Gerhana

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Bagaimana tata cara shalat gerhana?
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1: 435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
ﺟَﻬَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓِﻰ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟْﺨُﺴُﻮﻑِ ﺑِﻘِﺮَﺍﺀَﺗِﻪِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Tasyahud.
[12] Salam.
[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1: 438)
Semoga bermanfaat.

Selesai disusun ulang pada 13 Dzulhijjah 1435 H di Darush Sholihin
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber : rumaysho.com
Baca juga
Muslim.or.id
Almanhaj.or.id
Rerey Niqabis China ( Rerey )

"Masihkah Aku Harus Menuntutmu Wahai Suamiku?"

"Ganti kerjaan saja Pa, cari yang lebih baik"
"Coba bisnis ini aja Bah, lebih prospek"
"Pindah saja ke perusahaan ini Yah, mana bisa move on kalau tetep gini-gini aja"
"Jangan mas, jangan resign, nanti keluarga kita gimana, rumah masih nyicil, mobil belum punya"
"Coba deh Pi, nglamar kerjaan di situ, bisa berkali lipat gajinya, belum tunjangannya,"
"Ya kalau cuma dokter umum kapan bisa kaya Pa, gak papa sekolah aja lagi cari bea siswa, atau kerja di RS ini lebih profitable, coba lihat itu dr.A sudah mobilnya saja 2.. "
Dan sekian lagi...
Apapun profesi si Suami,
Ada sekian kata-kata yang mungkin saja seorang istri sampaikan pada suaminya.
Dengan dalih sekedar "memberi saran" duniawi.
Dengan dalih sharing "mewujudkan keluarga samara"
Sakinah
Mawaddah
Wa rahmah.
Sekilas.
Entah sadar atau tidak,
Ah, mungkin si istri lupa,
Atau pura-pura lupa
Atau jangan-jangan belum tahu ayat ini:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
Kerja sekeras apapun, bukan jaminan kita akan menjadi KAYA
Karena rezeki kita sudah ditakdirkan sejak kita dalam janin ibu-ibu kita...
Mungkin si istri tadi lupa,
Ketika dia menuntut lebih dari dunia ini,
konsekuensinya suami akan "terseret" pada kehidupan yang fana.
Bayangkan,
Ketika lelah bekerja di pagi bahkan sampai malam hari
Maka apa yang tersisa?
Mungkin untuk shalat berjama'ah di masjid saja "keteteran"
Tak bisa si suami tunaikan dengan sebaik-baiknya.
Entah dari segi meninggalkan sunnah-sunnah sebelum shalat berjama'ah
Atau yang lain
Mungkin si istri lupa,
Semakin lelah suami mencari nafkah, itu akan semakin mengurangi porsi akhirat.
Kok bisa?
Dunia dan akhirat tak bisa fifty-fifty.
Siapa yang menghendaki akhirat, jelas akan ada dari dunianya yang harus dikorbankan.
Mau tidak mau.
Sunnatullah.
Begitupun,
Ketika seseorang menghendaki dunia, tujuan hidupnya untuk dunia,
Maka bagian akhiratnya pun akan terlalaikan
Tak perlu menutup mata dari hiruk pikuk duniawi masyarakat awam kita
Bahkan dengan mudah kita saksikan
Betapa hebat mereka bersemangat kerja,
Berangkat subuh pulang maghrib,
Bahkan ada yang 24 jam ditempat kerja
Dedikasi pada dunia kerja mereka.
Yaa Ummahat fillah..
Apakah yang membedakan kita dengan mereka?
Tentu saja :
"Wahai suamiku, ambillah dunia seperlunya....
Cukup untuk kita menegakkan tulang beribadah kepada-Nya
Lalu pulanglah,
tarbiyah kami di atas Sunnah,"
Ath thalaq ayat 1-2,
tak sekedar dibaca
Tapi harusnya kita yakini,
Bahwa TAQWA adalah solusi terbaik.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai istri-istri yang membantu suami dalam ketaqwaan kepada Allah.
Bukan malah sebaliknya,
Kita berlindung kepada Allah dari jeleknya akhlak kita, hawa nafsu kita.. yang bisa menjerumuskan suami pada kubangan dunia.
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻫَﺐْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻨَﺎ ﻭَﺫُﺭِّﻳَّﺎﺗِﻦَﺍ ﻗُﺮَّﺓَ ﺃَﻋْﻴُﻦٍ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ

Dikutip dari channel telegram rumahbelajar
via : happyislam.com
Rerey Niqabis China ( Rerey )